Entah sudah berapa kali bangsa Indonesia memperingati Isra Miraj Nabi Muhammad SAW. Bahkan, setiap tanggal 27 Rajab ditetapkan sebagai hari libur nasional. Kita mencoba merenung, sudahkah peristiwa penting itu dipahami dengan benar? Dampak apakah yang dihasilkan dari peringatan itu?
Ilmu manusia tak mungkin bisa menjabarkan hakikat perjalanan Isra Miraj yang dilaksanakan Nabi Muhammad SAW. dalam waktu semalam. Ilmu manusia serba terbatas.

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ ۖ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُم مِّنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
Wayasaloonaka AAani alrroohi quli alrroohu min amri rabbee wama ooteetum mina alAAilmi illa qaleelan
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit." (QS. Al-Isra (17): 85)

Hanya dengan iman kita memercayai bahwa Isra Miraj benar-benar terjadi dan dilakukan oleh Rasulullah SAW. layaknya keimanan yang ditunjukkan Abu Bakar Assidiq RA. Dari perjalanan itu, sesungguhnya kita bisa mengambil pelajaran untuk tiap diri khususnya para pemimpin.

Pertama, seorang pemimpin yang akan mengawali kekuasaannya harus didahului pembersihan diri. Bahkan, saat niat mencalonkan diri untuk menjadi pemimpin juga harus dari hati yang bersih.

Sebagaimana tercermin dalam pembuka Surat Al-Isra' yang. dimulai dengan "tasbih" dan peristiwa pembersihan dada Nabi dengan air zamzam dan disempurnakan dengan wudhu sebelum menjalankan Isra. Bukan hanya pemimpin yang harus bersih, aparat pemerintah dan masyarakat pun harus menjalani reformasi moral.

Kedua, pentingnya komunikasi dan silaturahmi yang harmonis serta menghargai kepemimpinan sebelumnya. Ini terefleksi dalam singgahnya Rasulullah SAW. di tempat-tempat penting dan bersejarah, kemudian menemui para nabi pendahulunnya. Seorang pemimpin juga harus "singgah" atau blusukan ke tengah-tengah masyarakat sehingga memahami betul persoalan warganya.

Ketiga, Nabi juga mengalami berbagai godaan, hambatan, dan rintangan saat Isra Miraj sehingga bagi pemimpin adalah wajar bila sering dikritik bahkan dicaci maki. Balaslah kritik dengan kebaikan. Balaslah dengan kinerja nyata mengedepankan kepentingan masyarakat di atas kepentingan partai atau golongannya.

Jangan sampai menjadi pemimpin yang berlagak sok pintar atau merasa paling tahu segala urusan (tanathu'). Pemimpin juga jangan sampai mempersulit (tasydid) dan kebijakannya tidak melewati batas kemampuan yang ada (ghuluw).

Keempat, Isra Miraj juga mengajarkan pentingnya ajaran Islam itu "dibumikan" bukan "melangit". Padahal, pertemuan dengan Allah adalah cita-cita dan tujuan akhir manusia. Mengapa Muhammad SAW. bersedia kembali ke bumi? Seorang yang jadi pemimpin harus tetap kembali ke rakyatnya, bukan berdiri dan duduk di atas menara gading.

Terakhir, Isra Miraj mengajarkan pentingnya mengelola pemerintahan secara efektif laksana melaksanakan shalat berjamaah. Apabila imam melakukan kekeliruan dalam kepemimpinannya, makmum (pengikut/rakyat) harus menegurnya dengan cara tertentu yang arif. Shalat yang diawali takbir (mengagungkan Allah) dan diakhiri salam (kesejahteraan) juga mengandung arti, segala aktivitas kepemimpinan haruslah berlandaskan keagungan Tuhan (nilai-nilai keikhlasan karena Allah) dan disempurnakan dengan komitmen mensejahterakan rakyat.

Semua itu bisa dilaksanakan apabila seorang pemimpin bersikap ihsan. Sederhananya, ihsan adalah seorang manusia yang merasa diawasi Allah dan para malaikat-Nya dalam setiap niat dan aktivitas apa pun yang dikerjakannya sehingga tidak akan pernah ia berlaku curang, sombong, apalagi dzalim.

Seorang pemimpin yang ihsan akan menyebarkan kasih sayang (rahmat) karena pada hakikatnya semua manusia bersaudara karena satu keturunan dari Nabi Adam dan Siti Hawa. Seorang pemimpin harus lebih mencintai rakyatnya daripada dirinya sendiri.

Ihsan dan menyebarkan kasih sayang merupakan amal-amal kebajikan yang harus segera didistribusikan oleh seorang pemimpin. Kita semua termasuk pemimpin daerah (gubernur, bupati/wali kota, camat, dll.) tidak tahu kapan kita akan kembali pada Allah SWT. Alangkah ruginya kita bila saat dipanggil Allah SWT., kita tidak memiliki amalan kebaikan yang layak dan banyak sehingga sengsara dan azab yang akan kita dapatkan. Bila kita pernah melakukan dosa dan kesalahan, bersegera pula untuk bertobat. Iringi dosa dengan perbuatan baik.

Tentunya dengan memegang amanah sebagai pemimpin akan mengantarkannya menuju surga (jannah) tertinggi. Bukankah sah-sah saja kita berkeinginan meraih surga tertinggi sehingga bertemu para nabi dan rasul serta orang-orang terbaik yang pernah hidup sebelumnya maupun di masa yang akan datang?

Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Abu Hurairah telah dinyatakan salah satu dari tujuh golongan yang mendapat naungan Allah SWT. di hari ketika tidak ada naungan adalah pemimpin yang adil. (HR Bukhari dan Muslim) Di hadist lain, Nabi Muhammad SAW. bersabda,
"Sesungguhnya seorang pemimpin itu merupakan perisai, rakyat akan berperang di belakang serta berlindung dengannya. Bila pemimpin itu memerintah agar takwa kepada Allah serta bertindak adil, ia akan memperoleh pahala. Namun, bila ia memerintah dengan selainnya, dia akan mendapatkan akibatnya."

Wallahu'alam. ***

[Ditulis oleh H. PUPUH FATHURRAHMAN, Sekretaris Senat Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Pesantren Raudhatus Sibyan Sukabumi. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Wage) 30 Mei 2013 / 20 Rajab 1434 H. pada Kolom "CIKARACAK"]

by
u-must-b-lucky
Ada peribahasa yang berbunyi "kacang lupa pada kulitnya". Peribahasa tersebut memiliki makna kira-kira hal ihwal tabiat seseorang yang melupakan terhadap asal muasal dirinya. Lupa ini bisa dipandang sebagai anugerah atau petaka.

Lupa sebagai anugerah ialah lupa pemberian Allah SWT. Misal ketika kita sedang shaum di bulan Ramadhan, tiba-tiba kita makan dan minum di siang hari. Ini merupakan bentuk anugerah dan tidak membatalkan puasa. Adapun lupa yang berupa petaka hal ini tentu menimbulkan dosa.

Penulis membagi faktor penyebab lupa menjadi dua bagian, yaitu:
  • Pertama, lupa karena faktor jasmani (fisik), disebabkan usia lanjut atau juga karena peristiwa musibah kecelakaan yang mengakibatkan terganggu fungsi sistem saraf otak (gegar otak, kegilaan). Seseorang yang lupa menyimpan sandalnya atau lupa terhadap buku yang baru saja selesai dibacanya disebabkan faktor usia lanjut, hal ini adalah lumrah dan biasa.
  • Kedua, lupa karena faktor kejiwaan (psikis), disebabkan sikap pengingkaran / mendurhakai akan rasa terima kasih (kufur) atas segala nikmat dan anugerah yang telah dilimpahkan oleh Allah SWT. Lupa jenis inilah yang akan menimbulkan petaka.
Dulu ketika sedang belajar berjalan, kita dituntun dan diajari hingga kita pandai berjalan. Lantas kita lupa pada orang yang mengajari kita berjalan. Dulu ketika kita awal mendaki bahtera rumah tangga ditemani oleh pasangan (istri) kita dengan setia. Lantas setelah kaya raya, kita melupakan bahkan meninggalkannya.

Dulu kita (politisi) di masa kampanye seolah-olah mengemis dan memohon-mohon agar dipilih oleh rakyat (konstituen). Setelah terpilih menjadi wakil rakyat (legislatif), lupa kepada konstituennya. Adalah contoh dari lupa karena psikis atau kejiwaan.

Dalam kehidupan keseharian, kita sering mendapat pertolongan dan bantuan dari orang lain. Sudah semestinya kita mengucapkan terima kasih dengan tulus kepada orang tersebut sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT. sebagai Zat Yang Maha Pemberi.

Namun, sering kali kita lupa berterima kasih kepada orang yang telah berbuat baik kepada kita. Atau ketika kita sedang dalam kesulitan, kita rajin shalat, tahajud, puasa. Namun, ketika kesulitan itu teratasi, kita mulai jarang atau bahkan meninggalkan shalat.

وَإِذَا مَسَّ الْإِنسَانَ ضُرٌّ دَعَا رَبَّهُ مُنِيبًا إِلَيْهِ ثُمَّ إِذَا خَوَّلَهُ نِعْمَةً مِّنْهُ نَسِيَ مَا كَانَ يَدْعُو إِلَيْهِ مِن قَبْلُ

Waitha massa alinsana durrun daAAa rabbahu muneeban ilayhi thumma itha khawwalahu niAAmatan minhu nasiya ma kana yadAAoo ilayhi min qablu

Dan apabila manusia ditimpa bencana, dia memohon (pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali taat kepada-Nya. Tetapi apabila Dia memberikan nikmat kepadanya, dia lupa (akan bencana) yang pernah dia berdoa kepada Allah sebelum itu.... (QS. Az-Zumar (39): 8)

Ibnu Taymiyah menuturkan bahwa pernah di suatu peristiwa, Nabi SAW. bersama sahabatnya melakukan shalat wajib yang berjumlah empat rakaat. Nabi ternyata melakukan shalat dengan jumlah rakaat yang berlebih, yaitu lima rakaat. Para sahabat yang shalat berjemaah dengan Nabi menjadi kebingungan. Setelah shalat usai, beberapa orang dari mereka memberanikan diri untuk bertanya kepada Nabi, "Wahai Rasulullah, apakah memang ditambah rakaat dalam shalat itu?" Nabi balik bertanya, "Apa yang telah terjadi?" Mereka menjawab, "Engkau Nabi, melakukan shalat lima rakaat." Beliau pun berkata, "Sesungguhnya aku hanyalah manusia, aku dapat lupa, sebagaimana kamu dapat lupa. Maka jika aku lupa, ingatkanlah aku." (HR. Buchari Muslim)

Jika Nabi SAW. saja pernah dan bisa lupa, apalagi kita, manusia biasa pasti mudah lupa. Namun, Nabi SAW. tak segan-segan berkata, "Ingatkan aku jika aku lupa." Oleh karena itu, kita sebagai manusia biasa seharusnya tidaklah perlu marah, bahkan bersyukur jika ada orang yang mengingatkan diri kita ketika kita melakukan kesalahan, sebab boleh jadi kita sedang lupa. Seharusnya pula kita berdoa kepada Allah, dengan doa yang diajarkan-Nya untuk kita, seperti yang ada di dalam Al-Qur'an,

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

rabbana la tuakhithna in naseena aw akhtana

Ya Tuhan kami, jangan Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah. (QS. Al-Baqarah (2): 286)

Wallahu'alam. Demikian renungan Jumat ini, semoga bermanfaat. ***

Ditulis oleh IDAT MUSTARI, Ketua Biro Agama DPD Golkar Jawa Barat. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Pon) 24 Mei 2013 / 14 Rajanb 1434 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

by
u-must-b-lucky
Di dunia, orang-orang ramai melakukan investasi. Menyimpan tabungan, deposito, saham, dan lain-lain di lembaga-lembaga keuangan. Dari investasi itu diharapkan mengalir keuntungan jangka panjang. Bahkan diharapkan pula, keuntungan tersebut dapat tembus hingga ke akhirat kelak, menjadi bagian dari amal saleh yang mengandung ganjaran di sisi Allah SWT.

Ada tiga jenis investasi akhirat yang perlu dilakukan manusia ketika masih hidup. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW.,
"Putus amal-amalan manusia jika telah mati, kecuali tiga perkara. Yaitu sadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan kedua orangtuanya." (HR. Imam Muslim)

Ketiga hal di atas, ganjarannya akan mengalir terus, kendati pelakunya sudah meninggal karena mengandung manfaat bagi setiap orang yang masih hidup.

Yang termasuk sadaqah jariyah, adalah segala sesuatu pengorbanan, baik moral, maupun material-finansial, yang dikerjakan semata-mata karena Allah SWT. Ikhlas lillahita'ala. Pengorbanan moral dapat berbentuk gagasan, pendapat, atau inisiatif yang berhasil diterapkan untuk kemaslahatan umat sepanjang waktu.

Rasulullah SAW. menyatakan,
"Siapa yang memberi contoh kebaikan dalam Islam akan mendapat ganjaran dari perbuatannya itu dan mendapat ganjaran pula dari contoh perbuatan yang diikuti dan dikerjakan orang lain. Barang siapa memberi contoh buruk dalam Islam, akan mendapat dosa dari perbuatannya itu ditambah dengan dosa-dosa dari orang yang meniru perbuatannya tersebut." (HR. Imam Muslim)

Pengorbanan berupa material-finansial, berupa penyerahan sebagian harta miliknya untuk kepentingan umum, yang mengandung kemaslahatan dan syiar agama. Antara lain, membangun masjid, madrasah, santunan kepada fakir miskin, dan sebagainya.

Sadaqah jariyah merupakan obat bagi penyakit paling parah yang sering diderita manusia. Yaitu penyakit bakhil alias kikir. Berdasarkan beberapa hadits, para ulama menyatakan, tak ada penyakit yang lebih parah daripada bakhil (ayyu dain adwa-u minal bukhli).

Maka orang yang suka sadaqah jariyah, akan terbebas dari penyakit kronis tersebut. Sadaqah jariyah berdasarkan pada sabda Nabi SAW., juga menjadi penolak mara bahaya (ash shadaqatu tanfa'ul bala) serta menjadi sarana mendatangkan rezeki (istanzilu riz-qa bish bish shadaqati).

Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang dapat menjadi petunjuk ke arah kebaikan dan kebajikan. Menjadi alat bagi mencapai kesuksesan hidup di dunia dan akhirat. Para ulama cerdik pandai tempo dulu, banyak meninggalkan ilmu bermanfaat untuk diamalkan dari generasi ke generasi. Misalnya, ilmu tentang amal ibadah, hukum halal dan haram, dan sebagainya, yang berdampak positif terhadap kegiataan di berbagai bidang garapan sehari-hari.

Investasi akhirat bernilai lainnya adalah anak saleh yang mendoakan kedua orangtuanya. Ketika kedua orangtuanya masih hidup, anak tersebut senantiasa taat berbakti. Menjauhi segala perbuatan yang dapat merusuhkan dan meresahkan hati ibu bapak. Mengikuti nasihat dan teladan untuk menempuh hidup baik dan benar. Menjauhi segala yang dilarang, serta mengerjakan segala yang diperintahkan sesuai dengan aturan Allah SWT. dan Rasul-Nya.

Menghindari pergaulan yang dapat menjerumuskan ke dalam penderitaan pribadi, yang akan menimbulkan kesusahan orangtua dan melibatkan mereka dalam kasus-kasus yang berlarut-larut, seperti narkoba, geng motor, dan sebagainya, yang tercela di mata hukum dan norma etika masyarakat.

Setelah kedua orangtuanya meninggal, anak saleh akan berdoa setiap waktu, agar ibu bapaknya mendapat rahmat dan ampunan dari Allah SWT. Mendapat ganjaran atas jasa-jasanya memelihara dan menjadikan anaknya menjadi waladun salihun yad'ulahu. Anak saleh yang mendoakan orang tuanya yang saleh pula.

Adapun ciri-ciri orang saleh, tampak dalam perilaku yang diutarakan dalam QS. Al-Furqan (25): 63-65, yaitu sebagai berikut,
 
وَعِبَادُ الرَّحْمَٰنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا
وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ ۖ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا

WaAAibadu alrrahmani allatheena yamshoona AAala alardi hawnan waitha khatabahumu aljahiloona qaloo salaman
Waallatheena yabeetoona lirabbihim sujjadan waqiyaman
Waallatheena yaqooloona rabbana isrif AAanna AAathaba jahannama inna AAathabaha kana gharaman
Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka. Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, jauhkan azab jahannam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal."

Rendah hati. Bahkan terhadap orang yang mencercanya, tetap sopan santun dan membalas dengan ucapan penuh keselamatan. Mengisi malam dengan menegakkan qiyamul lail. Shalat malam, dzikir, wirid, tadarus Qur'an, ruku sujud mendekatkan diri kepada Allah SWT. Selalu memohon perlindungan dari siksa api neraka, sehingga setiap ucapan, tindakan, termasuk makan minum, selalu menghindari yang haram-haram, baik wujudnya (haram dzatiyah), maupun caranya (haram afaliyah).

Pada zaman modern sekarang, mungkin investasi akhirat tersebut sudah sering terlupakan. Banyak kendala dalam melaksanakannya. Sadaqah jariyah sering tersingkir oleh penyakit bakhil, akibat pengaruh globalisasi, sebagaimana sinyalemen Rasulullah SAW.,
"Zaman semakin dekat. Amal kebaikan makin berkurang. Kekikiran merebak. Pembunuhan merajalela. Yataqaro-buzzaman, wa yanqusul amal, wa yulqassuhu wa yaktsurul haraju." (HR. Imam Bukhari)

Ilmu yang bermanfaat semakin surut, karena banyak ilmuwan mewariskan ilmu yang justru berdampak negatif. Seperti mengundang perang, tindak kriminal, tipu daya, permusuhan, dan lain-lain.

Anak saleh sulit tercipta akibat pengaruh lingkungan, krisis rumah tangga, dan berbagai faktor yang menyuburkan watak buruk pada anak-anak.

Akan tetapi, seberat apa pun keadaan, investasi akhirat harus tetap digalakkan. Nilai haq petunjuk Rasulullah SAW. tetap akan lestari dan berharga diterpa pusaran topan sebesar apa pun.

Akhirul kalam, tulisan ini kita tutup dengan doa syukur nikmat Nabi Sulaiman AS.,

رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ

rabbi awziAAnee an ashkura niAAmataka allatee anAAamta AAalayya waAAala walidayya waan aAAmala salihan tardahu waadkhilnee birahmatika fee AAibadika alssaliheena
Ya Allah, berilah aku kemampuan untuk mensyukuri nikmat-Mu, yang telah Engkau berikan kepadaku dan ibu bapakku, dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai, serta masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh." (QS. An-Naml (27): 19)

Wallahu'alam. ***

[Ditulis oleh H. USEP ROMLI HM., pengasuh Pesantren Anak Asuh Raksa Sarakan Cibiuk Garut, pembimbing Haji dan Umrah Mega Citra/KBIH Mega Arafah Kota Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Pahing) 23 Mei 2013 / 13 Rajab 1434 H. pada Kolom "CIKARACAK"]

by
u-must-b-lucky
Dalam berbagai literatur menyebutkan, budak adalah manusia yang terenggut hak asasinya sebagai manusia bebas dan bermartabat. Budak adalah manusia yang tereksploitasi, baik secara fisik maupun psikis. Apa pun yang dikehendaki oleh tuannya harus diikuti bila tidak ingin menerima hukuman.

Sementara dalam literatur Islam, budak disebut ar-raqiq. Kata ar-raqiq diambil dari kata ar-riqq yang merupakan lawan kata dari al-ghildzah (keras) karena budak itu lembut kepada tuannya dan tidak keras terhadapnya, karena ia dimiliki tuannya.

Perbudakan terjadi karena beberapa sebab, di antaranya,
  1. Pertama, karena peperangan. Jika sekelompok manusia memerangi kelompok lainnya dan dapat mengalahkannya, mereka menjadikan istri-istri dan anak-anak dari musuhnya sebagai budak.
  2. Kedua, karena kemiskinan, sering kali kemiskinan membuat manusia menjual anak-anaknya sebagai budak kepada orang lain.
  3. Ketiga, karena penculikan dan pembajakan. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh orang-orang Eropa zaman dahulu, ketika mereka singgah di Afrika dan menangkap orang-orang Negro kemudian menjual mereka di pasar-pasar budak Eropa. Selain itu, para pembajak laut Eropa juga membajak kapal-kapal yang melewati laut dan menyerang para penumpangnya. Jika berhasil mengalahkan para penumpang tersebut, mereka menjualnya di pasar-pasar budak di Eropa dan memakan hasil penjualannya.
Sebelum datangnya Islam, perbudakan sudah ada. Perbudakan sudah dikenal sejak beribu-ribu tahun yang silam dan dijumpai di bangsa-bangsa kuno, seperti bangsa Mesir, Cina, dan Romawi serta disebutkan dalam kitab-kitab samawi, seperti Taurat dan Injil.

Oleh karena itu, tidak heran bila di dalam Al-Qur'an dan hadits Nabi Muhammad SAW., sering kita jumpai ayat atau sabda Nabi SAW. yang berkaitan dengan perbudakan. Di antaranya seperti yang terdapat dalam Surat Al-Balad (90) ayat 12 dan 13,

وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْعَقَبَةُ
فَكُّ رَقَبَةٍ

Wama adraka ma alAAaqabatu Fakku raqabatin

Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan.

Rasulullah SAW. bersabda,
"Barangsiapa menampar budaknya, atau memukulnya, maka kafaratnya ialah memerdekakannya." (Diriwayatkan Muslim)

Dalam ajaran Islam, masalah perbudakan diatur sedemikian rupa. Tujuannya bukan untuk melanggengkan perbudakan, tetapi untuk menjaga hak hidup mereka dan menghapuskan perbudakan itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hal, di antaranya,
Pertama, Islam tidak membenarkan adanya perbudakan, kecuali karena satu sebab, yaitu perbudakan karena peperangan. Tujuannya untuk menjaga kelangsungan kehidupan mereka, membahagiakannya dan memerdekakannya. Bila tidak demikian, kebanyakan para pemenang perang terdorong berbuat kerusakan karena dorongan balas dendam. Kemudian mereka membunuh wanita-wanita dan anak-anak untuk mengobati kebencian mereka terhadap laki-laki, wanita, dan anak-anak tersebut, dan itu tidak dikehendaki oleh Islam.

Kedua, Islam menjadikan pemerdekaan budak sebagai kafarat pembunuhan karena keliru dan beberapa pelanggaran, seperti dzihar, tidak melaksanakan sumpah, dan melanggar kehormatan bulan Ramadan dengan tidak berpuasa di siang harinya.

وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِن نِّسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِّن قَبْلِ أَن يَتَمَاسَّا ۚ ذَٰلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Waallatheena yuthahiroona min nisaihim thumma yaAAoodoona lima qaloo fatahreeru raqabatin min qabli an yatamassa thalikum tooAAathoona bihi waAllahu bimaun taAAmaloona khabeer

Orang-orang yang men-dzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. (QS. Al-Mujadilah (58): 3)

Ketiga, memberikan kafarat bagi majikan yang berbuat kasar terhadap budaknya dengan memerdekakan budaknya.
"Barang siapa memukul budak karena hukuman yang tidak dikerjakannya, atau menamparnya, maka kafaratnya ialah memerdekakannya." (HR. Ahmad, Abu daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Keempat, adanya alokasi zakat untuk budak. Tujuannya untuk membantu pembebasan budak

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِّنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Innama alssadaqatu lilfuqarai waalmasakeeni waalAAamileena AAalayha waalmuallafati quloobuhum wafee alrriqabi waalgharimeena wafee sabeeli Allahi waibni alssabeeli fareedatan mina Allahi waAllahu AAaleemun hakeemun

Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah (9): 60)

Kelima, Islam mengizinkan menggauli budak-budak wanita, agar kelak pada suatu hari mereka menjadi ibu dari anak-anak yang dikandungnya, kemudian mereka dimerdekakan karenanya. Rasulullah SAW. bersabda,
"Budak wanita mana pun yang melahirkan anak dari tuannya, ia merdeka setelah kematian tuannya." (HR. Ibnu Majah dan Al-Hakim)

Keenam, Islam menekankan kepada pemilik budak untuk melakukan perjanjian pembebasan dengan budak yang menginginkan pembebasan dirinya.

وَالَّذِينَ يَبْتَغُونَ الْكِتَابَ مِمَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا ۖ وَآتُوهُم مِّن مَّالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُمْ 

waallatheena yabtaghoona alkitaba mimma malakat aymanukum fakatiboohum in AAalimtum feehim khayran 

Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. (QS. An-Nur (24): 33)

Ketujuh, Islam menetapkan bahwa budak yang memiliki kekerabatan dengan pemiliknya harus dimerdekakan. Rasulullah SAW. bersabda,
"Barangsiapa memiliki budak yang masih keluarganya, maka ia merdeka." (Diriwayatkan Muslim)
Pertanyaannya, mengapa Islam tidak mewajibkan sekaligus memerdekaan budak sebagai suatu yang wajib yang tidak bisa ditinggalkan orang Muslim?

Itu karena ketika Islam datang, budak-budak di tangan manusia. Oleh karena itu, tidak sepantasnya syariat Allah yang adil ini yang turun untuk menjaga kehidupan manusia, kehormatannya, dan hartanya, mewajibkan manusia keluar dari harta mereka secara sekaligus. Selain itu, terkadang pembebasan budak-budak itu tidak mendatangkan kemaslahatan, karena di antara para wanita, anak-anak bahkan laki-laki sekalipun ada yang tidak sanggup membiayai dirinya karena tidak mampu bekerja, atau karena tidak mengetahui cara-cara kerja. Dalam kondisi seperti itu, keberadaan budak bersama tuannya yang Muslim yang memberinya makan dari apa yang dimakan tuannya, memberinya pakaian dari yang dikenakan tuannya, dan tidak membebaninya dengan pekerjaan yang tidak mampu ia kerjakan adalah lebih baik daripada ia dijauhkan dari rumah yang berbuat baik kepadanya dan menyayanginya kepada mereka kemiskinan. (Abu Bakr Al-Jazairi, Minhajul Muslim)

Dengan demikian, adanya aturan perbudakan dalam Islam bukan untuk merendahkan dan menyiksa mereka, tetapi untuk melindungi kehidupan mereka dan membebaskan mereka dari perbudakan.
Untuk itu, haram hukumnya jika ada seorang Muslim yang "memperbudak" karyawan, buruh, pembantunya, dan kepada manusia seluruhnya dengan memberikan pekerjaan yang sangat berat dan bentuk penyiksaan lainnya. Sebab, jangankan kepada mereka yang jelas-jelas merdeka dari perbudakan, kepada seorang budak (bila masih ada) sekalipun, seorang Muslim tidak diperkenankan memperlakukan mereka secara tidak manusiawi.

Wallahu'alam.***

[Ditulis oleh H. MOCH HISYAM, Ketua DKM Al-Hikmah RW.07 Sarijadi, Bandung, Ketua Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Ranting Sarijadi, Kecamatan Sukasari, Kota Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Wage) 10 Mei 2013 / 29 Jumadil AKhir 1434 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT."]

by
u-must-b-lucky
Ibnu Umar RA. berkata,
"Aku datang menemui Nabi SAW. bersama sepuluh orang, lalu salah seorang dari kaum Anshar bertanya, 'Siapakah orang yang paling cerdas dan paling mulia, wahai Rasulullah?' Beliau menjawab, 'Orang yang paling banyak mengingat kematian dan paling siap menghadapinya. Mereka itulah orang-orang cerdas. Mereka pergi dengan membawa kemuliaan dunia dan kemuliaan akhirat." (HR. Ibnu Majah)

Hadits tersebut memberikan peringatan kepada kita sebagai Muslim bahwa cerdas tidaknya seseorang adalah saat ia selalu mengingat kematian. Karena dengan mengingat kematian, seseorang akan selalu punya rem saat ia akan melakukan dosa dan maksiat. Dengan itu juga, seseorang akan mempersiapkan bekal amal saleh sebanyak-banyaknya guna menghadapi kematian tersebut.

Mari kita ambil pelajaran dari wafatnya ustaz kita Jefry Al-Buchori. Seorang dai muda, populer, gaul, dan sangat dicintai masyarakat Indonesia, telah berpulang ke haribaan-Nya dalam usia yang masih muda, 40 tahun. Seluruh masyarakat Indonesia pun berduka dan puluhan ribu orang menyalatkan dan mengiringinya ke pemakaman terakhir. Peristiwa itu memberikan pelajaran berharga bahwa kita semua tidak akan pernah berlari dari kematian, tetapi kita sering melupakannya.

Dengan penuh kejujuran, mari kita bertanya pada diri sendiri, seberapa banyak kita mengingat kematian? Jangan-jangan, kesibukan kita dalam hal dunia telah menjauhkan diri kita dari mengingat kematian. Jangan-jangan, kekayaan yang kita miliki, kesuksesan yang kita raih, jabatan tinggi yang kita rengkuh, telah melalaikan kita untuk mendekatkan diri pada-Nya. Jika demikian adanya, seharusnya kita berhenti sebentar untuk bermuhasabah diri dan mengambil pelajaran dari kematian saudara-saudara kita.

Bila seorang Muslim telah ingat akan kematiannya, ia tidak merasa sayang membelanjakan hartanya di jalan Allah. Ia tidak akan menyelewengkan kekuasaannya untuk mendzalimi orang-orang yang lemah karena ia sadar setelah kematian menjemputnya, tidak ada yang mampu menolong selain amal dan perbuatannya.

Hamid Al-Qushairy berkata, "Setiap orang di antara kita yakin akan datangnya kematian, sedangkan kita tidak melihat seseorang bersiap-siap menghadapi kematian itu. Setiap orang di antara kita yakin adanya surga, sedangkan kita tidak melihat ada yang berbuat agar bisa masuk surga. Setiap orang di antara kita yakin adanya neraka, sedangkan kita tidak melihat orang yang takut terhadap neraka. Untuk apa kalian bersenang-senang? Apa yang sedang kalian tunggu? Tiada lain adalah kematian. Kalian akan mendatangi Allah dengan membawa kebaikan ataukah keburukan. Maka, hampirilah Allah dengan cara yang baik."

kematian adalah rahasia Allah. Allah sengaja merahasiakannya agar kita selalu waspada saat kematian menjemput kita, baik itu rahasia tempat, cara, dan waktunya. Allah sengaja merahasiakan tempat di mana kita akan mati. Tak seorang pun yang tahu di mana kita akan mati. Apakah kita mati di rumah dalam keadaan berkumpul bersama keluarga atau di rumah sakit saat orang-orang menjenguk kita, ataukah kita mati di masjid. Kita tidak akan pernah tahu di mana kita akan mati, tetapi kita semua menginginkan agar saat kematian menjemput, kita sedang berada di tempat yang baik dan mulia, bukan di tempat penuh dosa dan maksiat.

Selain tempat, Allah merahasiakan cara kita saat mati. Kita tidak akan pernah tahu bagaimana cara kita mati. Apakah mati dalam keadaan sedang beribadah dengan banyak pahala dari amal saleh yang kita lakukan atau mati karena kecelakaan di jalanan dengan berlumuran darah yang mengenaskan? Ataukah kita mati tertembak peluru di medan perang? Begitu banyak cara yang ditunjukkan Allah saat kematian datang kepada seseorang. Akan tetapi, yang pasti kita semua menginginkan mati dengan cara yang indah, lembut, dan dalam kedaan khusnul khatimah.

Allah juga sengaja merahasiakan waktu kematian kita. Sungguh tak seorang pun yang tahu kapan waktu kematian menjemput kita. Apakah kita mati di waktu pagi, siang, sore, atau malam hari? Namun, yang jelas kita semua mengharapkan mati di waktu yang dimuliakan Allah SWT.

"Tidak ada seorang Muslim pun yang meninggal pada hari Jumat atau malam Jumat, kecuali Allah akan menjaganya dari fitnah kubur." (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

Oleh karena itu, kita selalu diingatkan dengan ayat,

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۖ فَمَن زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

Kullu nafsin thaiqatu almawti wainnama tuwaffawna ojoorakum yawma alqiyamati faman zuhziha AAani alnnari waodkhila aljannata faqad faza wama alhayatu alddunya illa mataAAu alghuroori

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. (QS. Ali-Imran (3): 185)

Dengan ayat ini, Allah memberi isyarat, kesenangan dunia seringkali membuat lalai, melenakan, dan membuat seseorang melupakan kematiannya. Persiapan menghadapi sesuatu tidak akan terwujud kecuali dengan selalu mengingatnya di dalam hati, sedangkan untuk selalu mengingat di dalam hati tidak akan terwujud kecuali dengan selalu mendengarkan hal-hal yang mengingatkannya dan memperhatikan peringatan-peringatannya sehingga hal itu menjadi dorongan untuk mempersiapkan diri.

Saat seseorang bergaul dengan kesenangan dunia, ada yang tenggelam ke dalam dunia, ada yang bertobat, ada pula yang arif. Adapun orang yang tenggelam ke dalam dunia, ia jarang mengingat kematian yang akan menjemputnya. Berbeda orang yang bertobat, ia banyak mengingat kematian untuk membangkitkan rasa takut dan khawatir pada hatinya lalu ia menyempurnakan tobatnya. Oleh karena itu ia gunakan hartanya, kekuasaan dan memaksimalkan amal ibadahnya sebagai bekal persiapan menghadapi kematian.

Sementara itu, orang arif selalu ingat kematian karena kematian adalah janji pertemuannya dengan kekasihnya. Pencinta tidak akan lupa akan janji pertemuan dengan kekasihnya. Ia yakin, saat kematian menjemput, ia akan bertemu dengan Allah dengan cara yang indah. Dengan demikian, sebagai Mukmin, kita semestinya selalu mengingat kematian karena kita tidak pernah tahu kapan, di mana, dan dengan cara apa kematian itu menjemput kita.

Wallahu a'lam bish-shawab. ***

[Ditulis oleh TAUFIK HIDAYATULLAH, khatib dan pengurus DKM Masjid Jami' Al-Huda, Pacet, Kabupaten Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Pahing) 3 Mei 2013 / 22 Jumadil AKhir 1434 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT."]

by
u-must-b-lucky
Sejak usia muda, Rasulullah SAW. termasuk orang yang sudah belajar hidup mandiri. Tidak bergantung pada orang lain. Tidak menggantungkan nasib pada orang lain dan tidak menjadi beban orang lain. Hal ini terlihat dari ikhtiarnya untuk terlibat langsung dalam berbagai kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Dalam catatan sejarah nabi (Shirah Nabawi), ditemukan informasi ada tiga kegiatan ekonomi yang dilakukan Rasululllah SAW. yaitu menjadi penggembala, berdagang dengan pamannya, dan menjalin mitra usaha dagang Siti Khadijah yang kemudian hari menjadi istrinya. Hal ini menggambarkan, bahwa sedari usia muda Rasulullah SAW. ikut terbiasa dan sudah membiasakan diri menjadi orang mandiri.

Khusus dalam kaitannya dengan bisnis (dagang), pada mulanya Rasulullah SAW. terlibat dengan usaha-usaha yang dikembangkan pamannya, Abu Thalib, yang mengembangkan sayap bisnisnya dengan menjalin usaha bersama dengan pengusaha besar yakni Siti Khadijah. Ia adalah seorang janda kaya di Mekah yang berakhlak mulia. Ia adalah wanita yang senantiasa menjaga kehormatan dirinya sehingga mendapat gelar At-Thahirah (Wanita Suci).

Menanggapi permohonan Muhammad SAW. untuk ikut berdagang, Siti Khadijah tanpa pikir panjang langsung menyambutnya dengan senang hati, karena ia telah cukup mengenal Muhammad SAW. sebagai pemuda yang ramah, jujur, dan sopan-santun. Berangkatlah Muhammad SAW. ke negeri Syam, ditemani oleh Maisarah, budak Siti Khadijah. Jalinan usaha antara Abu Thalib dan Siti Khadijah berjalan lancar, dan bahkan mampu membesarkan bisnisnya. Karena kemajuan dalam bisnisnya itulah, Siti Khadijah melalui pembantunya, Maisarah kemudian mencari tahu, apa dan bagaimana cara berdagangnya partner usaha tersebut. Ternyata Muhammad SAW. dengan Abu Thalib mampu melakukan komunikasi usaha dengan cara yang sangat baik.

Mereka berdua mampu melakukan komunikasi usaha yang memegang prinsip kejujuran dalam usaha, sehingga bisa memberikan kenyamanan kepada da pembeli. Nilai kejujurannya itulah, yang kemudian menyebabkan usaha-usaha Muhammad SAW. dan Abu Thalib bisa berkembang dengan baik, dan itu semua sudah tentu menguntungkan usaha Siti Khadijah.

Dalam kaitan ini, ada beberapa nilai kejujuran yang memang penting dikembangkan dalam konteks usaha kerja sama sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW. Nilai kejujuran merupakan nilai-nilai penting dalam hal apa pun apalagi dalam bisnis.

Pertama, jujur terhadap rekanan usaha kita. Jangan sampai, rekanan kita merasa dirugikan karena kita tidak pernah memberikan laporan keuntungan secara terbuka. Banyak pebisnis sekarang, kalau untung dimakan sendiri, tetapi kalau rugi dilaporkan kepada mitra usaha.

Kedua, jujur kepada pembeli. Di mana pun kita berdagang, pembeli harus dihargai secara optimal. Kita tidak boleh berdusta atau mencederai konsumen kita. Ada sifat buruk, di sejumlah pedagang kita. Melihat calon pembeli bukan daerah asli tempat tinggal kita, misalnya pendatang, harga barang kemudian dinaikkan. Sikap seperti ini sesungguhnya hanya merugikan diri sendiri. Memang, sekali waktu itu, dia mendapatkan untung besar, tetapi citra usaha menjadi buruk. Pernahkah kita mendengar, ada saudara kita yang kapok jajan di suatu tempat wisata, karena barang-barangnya dimahalkan? Apakah dengan pengalaman itu, kelak kalau kita berkunjung lagi ke tempat wisata tersebut, kita berminat untuk belanja lagi?

Tingginya korupsi di negara kita ini, pada dasarnya, karena telah kehilangan sikap kejujuran. Di negeri kita ini, sifat-sifat sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW. sekarang hampir sulit ditemukan. Ketidakjujuran merajalela sehingga korupsi pun marak.

Ketiga, setiap pengusaha atau pegawai pun harus jujur terhadap profesinya atau hasil usahanya. Di sini, sifat amin (jujur), bermakna pula amanah atau transparansi. Seorang yang jujur (al-amin) adalah orang yang mengembangkan sikap transparan, terbuka pada orang lain. Sikap ini penting, karena bila pengusaha, pedagang tidak mau bersikap transparan, dia akan terjerumus melakukan tindak pidana korupsi, manipulasi, atau penggelapan hasil usaha. 

Ketidakjujuran bisa jadi menguntungkan, tetapi sifatnya hanya sesaat. Bahkan, ketidakjujuran bisa menghancurkan dalam jangka panjang. Apakah kita mementingkan keuntungan jangka panjang atau sekadar jangka pendek?

Banyak yang mengatakan apabila jujur, usaha akan hancur lebur. Jujur akan membuat kerugian. Sebagai kaum Muslimin yang meyakini janji-janji Allah, maka kalimat-kalimat seperti itu merupakan kalimat yang tidak dibenarkan. Kalau Allah SWT. sudah menjamin seseorang yang jujur akan mujur, mengapa kita masih memercayai anggapan umum yang menyalahi prinsip ajaran Islam? Jujurlah, insya Allah hidup akan mujur. ***

[Ditulis oleh H. HABIB SYARIEF MUHAMMAD ALAYDRUS, Ketua Yayasan Assalam Bandung, mantan anggota MPR, mantan Ketua PW. NU Jawa Barat. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Manis) 2 Mei 2013 / 21 Jumadil Akhir 1434 H. pada Kolom "CIKARACAK".]

by
u-must-b-lucky